Indonesia 2050: Surga Bahan Baku Menuju Net Zero Aviation
Menuju target Net Zero Emission 2050. Banyak sektor industri mulai meninggalkan bahan bakar fosil dan beralih ke energi yang lebih bersih. Sektor penerbangan menjadi salah satu yang paling menantang, karena ketergantungannya pada bahan bakar cair berenergi tinggi seperti avtur. Untuk menjawab tantangan ini, SAF (Sustainable Aviation Fuel), adalah solusi terbaik yang memungkinkan pesawat terbang lebih bersih tanpa perlu modifikasi mesin atau infrastruktur bandara.
Pemerintah menargetkan implementasi SAF secara bertahap, dimulai dari 1% pada 2027 dan meningkat hingga 50% pada 2060, dengan kapasitas produksi sekitar 7,88 juta kilo liter per tahun. Produksi awal SAF akan berasal dari Green Refinery Cilacap, yang memanfaatkan minyak jelantah – Used Cooking Oil (UCO) sebagai bahan baku utama.
Dalam mengantisipasi pertumbuhan permintaan SAF, penting untuk memastikan pasokan SAF dapat memenuhi kebutuhan domestik. Ada dua opsi: mengimpor bahan bakar atau membangun kapasitas produksi dalam negeri. Indonesia, dengan potensi bahan baku yang melimpah, memiliki peluang besar untuk mengembangkan kemampuan produksi SAF. Namun, mengandalkan satu jenis bahan baku dan teknologi saja tidak cukup; berbagai metode produksi teknologi alternatif harus diadopsi untuk memenuhi permintaan di masa depan.
Terdapat empat teknologi produksi SAF utama yang diakui secara global, masing-masing dengan karakteristik serta kesiapan komersial dan teknologi yang berbeda. Teknologi tersebut adalah Hydro-processed Esters and Fatty Acids (HEFA), Alcohol-to-Jet (AtJ), Fischer Tropsch, dan Power-to-Liquid (PtL). Saat ini, produksi SAF di Indonesia masih bergantung pada jalur Hydro-processed Esters and Fatty Acids (HEFA), dengan menggunakan Palm Kernel Oil (PKO) sebagai bahan baku. Akan tetapi, keterlibatan PKO dalam produksi minyak kelapa sawit menimbulkan tantangan keberlanjutan yang mengarah pada Life-Cycle Assessment (LCA) yang tidak optimal.
Indonesia perlu mempertimbangkan eksplorasi bahan baku HEFA yang lebih ramah lingkungan dengan dampak yang lebih signifikan terhadap LCA. Palm Fatty Acid Distillate (PFAD) dan Used Cooking Oil (UCO), yang dikategorikan sebagai limbah, menjadi alternatif untuk dijadikan bahan baku HEFA generasi berikutnya. Namun, pengadaan bahan baku ini dalam jumlah dan kualitas yang memadai masih menjadi tantangan yang signifikan, terutama pada UCO, yang memiliki masalah pengumpulan dan sebagian besarnya diekspor ke pasar luar negeri.
Meskipun memiliki kapasitas bahan baku SAF HEFA yang sangat besar, Indonesia tidak bisa hanya mengandalkan teknologi produksi ini untuk memenuhi target pencampuran SAF secara keseluruhan. Berdasarkan analisa potensi ketersediaan bahan baku SAF HEFA yang mencangkup tingkat konversi bahan baku menjadi SAF, estimasi volume produksi, dan skenario pengumpulan bahan baku; ketersediaan bahan baku SAF HEFA di Indonesia tidak mampu untuk memenuhi target pencampuran SAF secara keseluruhan.
Dalam skenario pengumpulan yang realistis, potensi pasokan bahan baku SAF HEFA Indonesia diperkirakan hanya akan mampu untuk memenuhi kebutuhan SAF domestik hingga tahun 2040. Sedangkan, apabila mengasumsikan seluruh bahan baku SAF HEFA di Indonesia dapat dimanfaatkan untuk memproduksi SAF, kemampuan pemenuhan permintaan SAF domestik hanya akan terpenuhi hingga tahun 2054.
Pongamia berpotensi besar untuk digunakan sebagai bahan baki SAF karena minyak dari bijinya dapat diolah menjadi SAF generasi ke-3. Tanaman ini memiliki keunggulan seperti kebutuhan air yang lebih rendah, toleransi terhadap berbagai kondisi lingkungan (panas, salinitas, banjir), dan dapat menghasilkan minyak dalam jumlah tinggi, bahkan berpotensi menyaingi kelapa sawit.
Selain minyaknya, biomassa dari polongnya juga bisa dikonversi menjadi bahan bakar. Keunggulan Pongamia untuk SAF adalah memiliki potensi hasil minyak biji yang tinggi, yaitu hingga 3 ton minyak per hektare per tahun. Selain minyak dari bijinya, biomassa dari polong pongamia juga bisa diolah menjadi bahan bakar tambahan sehingga bisa mencapai 6 ton minyak per hektare per tahun.
Pertumbuhan pongamia memerlukan air yang lebih sedikit dibandingkan tanaman minyak nabati lainnya. Tanaman ini tahan terhadap kondisi panas, salinitas (kadar garam tinggi), dan banjir yang sering terjadi akibat perubahan iklim.
Pongamia tidak bersaing dengan lahan pangan, tumbuh dengan kebutuhan air yang lebih rendah dan tidak bersaing dengan lahan pangan. Selain sebagai sumber bioenergi, pongamia juga memiliki manfaat lain seperti penyerapan karbon dan kandungan protein dari bijinya bisa digunakan untuk keperluan pakan.
Pengembangan Industri SAF Indonesia ini dimaksudkan sebagai arahan dan instrumen untuk menyinergikan berbagai peraturan, kebijakan, dan program terkait pengembangan SAF di Indonesia tidak hanya bisa bergantung pada Palm Fatty Acid Distillate (PFAD), Used Cooking Oil (UCO) dan residual lainnya. Diperlukan sumber SAF yang berkesinambungan, ramah lingkungan dan tidak mengganggu lahan pertanian untuk program ketahanan pangan.
Mengingat pengembangan SAF di Indonesia akan menyangkut dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan lintas sektor, maka pelaksana peta jalan tidak hanya terbatas pada beberapa kementerian atau lembaga. Diharapkan secara sinergis dan tersinkronisasi dapat dilakukan oleh seluruh instansi dan pemangku kepentingan, baik nasional maupun daerah, yang terkait atau menangani pengembangan SAF dan mendukung komitmen Indonesia pada Net Zero Aviation.
Bukan tidak mungkin Indonesia menjadi penghasil utama SAF dan Net Zero Aviation tercapai lebih cepat dengan potensi 800 varietas lokal Pongamia dan 48 juta hektar lahan terdegradasi. Semoga bisa terbentuk perkebunan yang mensinergiskan ketahanan pangan, hortikultura dan energi dalam satu area. Ya setelah jadi Raja Sawit, Raja SAF kemudian!
Oleh: Dr.(c) Dadang Gusyana, S.Si, MP.

