Pongamia, Pohon Legum yang Jadi Harapan Energi Bersih Global

Pongamia, Pohon Legum yang Jadi Harapan Energi Bersih Global

PongamiaIndonesia, JAKARTA – Pongamia (Milletia pinnata), pohon legum berukuran sedang yang tumbuh cepat, kini tengah diperhitungkan sebagai sumber energi nabati baru. Sebuah laporan berjudul A Technical and Economic Appraisal of Pongamia pinnata in Northern Australia menyebut tanaman ini memiliki potensi besar untuk menghasilkan biodiesel generasi kedua, sekaligus mendukung upaya mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK).

Laporan tersebut menggabungkan temuan awal Wylie dkk. (2021) dengan kajian teknis dan ekonomi terbaru. Hasilnya menunjukkan Pongamia dapat berkontribusi pada penanggulangan perubahan iklim, mendorong pembangunan ekonomi, serta menawarkan peluang keuntungan bagi perkebunan di wilayah utara Australia.

Konteks ini menjadi semakin penting ketika dunia menghadapi dampak pemanasan global: kekeringan, kebakaran, banjir ekstrem, hingga kenaikan permukaan laut akibat pencairan es. Sebagian besar negara kini berlomba mengurangi emisi GRK secara signifikan sebelum 2050. Di Australia sendiri, meskipun emisi dari listrik menurun berkat energi surya dan angin, sektor pertanian dan bahan bakar transportasi masih menjadi penyumbang besar—lebih dari sepertiga total emisi nasional.

Kebutuhan Biofuel Berkelanjutan

Dadang Gusyana, Agronomist Consultant di Agriconsulting Europe S.A. (AESA), Brussel, menegaskan perlunya bahan bakar alternatif yang berkelanjutan. Ia merujuk pada laporan Net Zero by 2050 yang diterbitkan International Energy Agency (IEA) tahun 2021, yang menyebut biofuel canggih sangat dibutuhkan untuk mencapai target nol emisi.

Sektor transportasi jarak jauh, pertambangan, pertanian, hingga penerbangan diprediksi masih akan bergantung pada bahan bakar cair untuk waktu lama. Karena itu, biofuel yang diproduksi dari biomassa—baik dari tanaman energi maupun limbah pertanian—menjadi solusi transisi yang realistis.

Pada 2019, produksi biofuel dunia baru menyumbang 3 persen kebutuhan bahan bakar transportasi darat, dengan porsi kecil untuk penerbangan. Namun, IEA menargetkan biofuel harus memenuhi 64 persen kebutuhan global bahan bakar transportasi pada 2050, agar ketergantungan pada minyak bumi berkurang drastis.

Tantangan Generasi Pertama dan Kedua

Biofuel generasi pertama, yang berbasis pangan seperti kanola, kedelai, jagung, dan tebu, kerap dikritik karena bersaing dengan kebutuhan pangan. Sekitar sepertiga produksi kanola dan kedelai global saat ini dipakai untuk biodiesel. Peningkatan kapasitas pabrik baru bahkan bisa membuat dua pertiga kedelai dan separuh kanola dunia beralih ke energi, selain jutaan ton jagung dan tebu yang diubah menjadi etanol.

Berbeda dengan itu, biofuel generasi kedua berasal dari biomassa kayu atau limbah pertanian. Bahan bakunya tidak bersaing langsung dengan pangan karena berasal dari produk sampingan atau ditanam di lahan marginal. Di sinilah Pongamia menonjol: tanaman ini bisa tumbuh di tanah miskin hara, tahan panas, dan menghasilkan minyak nabati berkadar tinggi.

Peran untuk Menekan Emisi Pertanian

Pertanian sendiri menyumbang 13 persen emisi karbon dioksida Australia, dengan 66 persen di antaranya berasal dari metana hewan ruminansia. Untuk itu, penanaman pohon skala besar kerap diproyeksikan sebagai solusi offset karbon. ClimateWorks Australia memperkirakan negeri itu membutuhkan penyerapan 45 juta ton CO₂ melalui “hutan karbon” hingga 2030, agar mampu menahan laju pemanasan global di bawah 2℃. Namun, strategi ini juga mengandung risiko: penggunaan lahan luas untuk hutan karbon bisa menggeser produksi pangan, sama seperti polemik biofuel generasi pertama. Oleh karena itu, keberadaan tanaman seperti Pongamia memberi alternatif yang lebih seimbang—mampu menyerap karbon, menghasilkan bahan bakar terbarukan, dan tidak mengorbankan pangan.

sumber: infosawit.com

error: Content is protected !!